Tuesday, March 25, 2008

Mohammad Odeh dan Upaya Penyatuan Kalender Islam

Prolog

Islam mengatur segala tata peribadatan hamba terhadap sang Rabb-nya. Beberapa diantaranya adalah tentang ibadah shalat, haji, puasa, dan I’edain, yang pelaksanaannya terikat oleh waktu dan masa.

Allah SWT berfirman; “Mereka bertanya kepadamu tentang Hilal, Katakanlah (Muhammad) ia merupakan waktu bagi manusia dan untuk haji”[1]

Hilal atau pantulan cahaya matahari terhadap bulan merupakan subjek utama dalam penentuan waktu pelaksanaan ibadah tersebut. Maka dari itu diperlukan sebuah observasi untuk menentukan posisi hilal. Rasulullah SAW. bersabda; “Janganlah kalian berpuasa hingga melihat Hilal, dan janganlah kalian berbuka hingga melihatnya”[2]

Begitu pentingnya ilmu ini bukan hanya sekedar penentuan awal dan akhir bulan hijriyah, lebih dari itu penentuan nasib 1,3 milyar muslimin di dunia untuk melaksanakan ibadah fardhu mereka.

Hampir setiap tahunnya, hilal menjadi pokok pembahasan banyak orang. Dari orang yang awam dengan materi tersebut hingga para pakar astronomi dan falak. Ini merupakan problematika tersendiri bagi umat Islam, ketika terjadi perselisihan dalam penetapan hilal.

Secara umum perbedaan tersebut memang hanya berada dalam kisaran satu hari. Namun, pernah juga terjadi perbedaan yang cukup mencolok, hingga selisih dua sampai emapat hari. Sungguh tidak masuk akal perbedaan waktu bisa sampai sebanyak itu. Secara nalar matematis, perbedaan antar tentunya tidak lebih dari 12 jam. Tentunya ada sistem yang salah dalam penentuan hilal tersebut. Tercatat ada beberapa perbedaan, diantaranya;

1. Penetapan awal bulan Ramadhan tahun 1419 H., antara Jordan, Arab Saudi (19 Desember 1999), Mesir, Maroko (20 Desember 1999), dan India, Pakistan (21 Desember 1999)

2. Penetapan bulan Dzulhijjah tahun 1419 H., antara Arab Saudi (18 Maret 1999) dan Pakistan (20 Maret 1999)

3. Penetapan bulan Syawal tahun 1420 H., antara Arab Saudi, Qathar, Emirat Arab, Palestina (7 Januari 2000), Nigeria (6 Januari 2000) dan sebagian besar negara-negara Islam (8 Januari 2000).[3].[4]

Dalam hal ini Arab Saudi sering kali mendapatkan sorotan dari dunia karena banyak mengeluarkan fatwa-fatwa yang bertentangan dengan fakta keilmuan, dan juga tentang beberapa kali kesalahan dalam mengambil keputusan atas penetapan awal dan akhir bulan hijriyah.

Kemunculan fatwa-fatwa kontroversial tersebut akhirnya menuai banyak kritikan dari para pakar astronomi Islam, seperti Dr. Khalid Shawkat (Islamic Society of North America), Dr. Mohibbullah Durrani (Columbia University), Ir. Mohammad Syaukat Odeh (Jordan Astronomy Society, arab Union of Astronomy and Space Sciences, Islamic crescents observatory project), Mohammad Khan (USA), dll.[5]

Biografi Odeh

Odeh, begitulah litelatur barat mencatat kecemerlangan serta kebrilianan sosok beliau dalam bidang ilmu astronomi dan falak. Bernama lengkap Ir. Mohammad Syaukat Audah. Lahir di kota Kuwait, 6 Maret 1979. Kemudian tumbuh besar di kota Amman ibukota negara Jordan. Menyelesaikan studi Mekanik dan Engineering di Universitas Jordan, Fakultas Science dan Teknologi pada tahun 2002.

Ilmu astronomi merupakan hobi beliau semenjak remaja. Maka tak heran jika Odeh secara luar biasa mampu memunculkan terobosan-terobosan gemilang dalam ilmu falak. Diumurnya yang menginjak ke-20, tahun 1998, Odeh mendirikan sebuah lembaga penelitian dan observasi hilal ICOP (Islamic Crescents’ Observation Project ). Hingga saat ini, lembaga tersebut memiliki lebih dari 300 ilmuwan yang terdiri dari pakar ilmu falak dan individu-individu yang intens dalam penelitian dan pengkajian hilal dari berbagai negara di dunia.

Beliau saat ini juga merupakan bagian dari anggota tim Arab Union for Astronomy and Space Sciences (AUASS), yang fungsi dari organisasi ini adalah menetapkan waktu shalat dan melaksanakan rukyatul hilal.

Selain itu, Odeh telah mengikuti lebih dari 10 sesi seminar internasional dalam bidang ilmu falak dan rukyat. Diantaranya di negara Maroko (Al Hilâl Baina Hisâbât Falakiyyah Wa Rukyat), Emirat Arab (Al Farqu Baina al Qamar al Markaziyyah wa al Sathahiyyah, Indonesia (Thatbiqât Tiknulujiya al Ma’lumât li i’dâdi Taqwim Hijri al ‘Âlami),

Mohammad Odeh juga telah membuat sebuah software yang mampu menghitung waktu-waktu solat, imkanur rukyah hilal, arah kiblat, dan waktu terbit serta tenggelam bagi matahari dan bulan yang telah digunakan di berbagai belahan dunia. Program beliau ini secara resmi digunakan sebagai alat penentu imkanu rukyat dan kalender hijriyah Jordan. (M. Fuad Al Amin)

Kriteria Visibilitas Hilal

“Perkara pertama yang perlu dipahami tentang rukyatu hilal ialah bahwasanya bulan terbit dan tenggelam seperti halnya dengan matahari. Inilah perkara yang paling asas. Seperti halnya matahari terbit pada pagi hari kemudian beredar selama 12 jam dan tenggelam di ufuk barat pada sore hari, maka demikian pula bulan terbit dan tenggelam. Bulan setiap hari terlambat terbitnya sekitar 50 detik , yaitu misalkan hari ini bulan tenggelam jam 6 sore, maka besok ia akan tenggelam pada jam 6 lebih 50 detik.” Kata Odeh dalam sebuah wawancara di stasiun televisi al Jazeera.[6]

Dalam menentukan kriteria visibilitas hilal, Odeh banyak mengacu terhadap kriteria-kriteria lama yang telah ada. Diantaranya;

1. Kriteria Babilonia

Kriteria ini muncul sejak zaman Babilonia (2000 sM) sampai saat ini telah terkumpul lebih dari 12 kriteria visibiltas hilal berdasarkan sejumlah data observasi dalam berbagai kondisi bulan. Kriteria Babilonia menetapkan bahwa hilal hanya bisa dilihat oleh mata telanjang bila telah berumur 24 jam atau lebih sejak ijtima? atau bila perbedaan waktu sunset dan moonset (lag time) lebih dari 48 menit. Kriteria tertua ini kemudian disempurnakan oleh para astronom muslim

2. Kriteria Muhammad Ilyas

Ilyas menyempurnakan kriteria visibilitas hilal dengan menghubungkan antara geocentric relative altitude dan relative azimuth. Beliau berpendapat jarak sudut bulan-matahari haruslah mencapai angka 10,5 derajat pada beda azimut 0 derajat agar hilal dapat dilihat.

3.Kriteria SAAO (The South African Astronomical Observatory)

Dengan menggabungkan antara Toposentric Altitude dan Relative Azimuth, ternyata metode ini lebih tepat dan relevan dari metode-metode di atas.

4.Kriteria Yallop

Kriteria ini mengabungkan antara geocentric Relativ Altitude dengan Topocentric Crescets Width.

5. Kriteria Odeh

Kriteria ini digagas oleh Odeh dengan menggabungkan hasil-hasil observasi yang dilakukan oleh Schaefer, Yallop, SAAO, ICOP dari tahun 1859 hingga tahun 2005 (737 kali observasi). Berdasarkan pengamatan terhadap obeservasi tersebut, visibilitas hilal dalam kondisi atmosfir ufuk yang mendukung di suatu lokasi pada saat matahari terbenam terbagi menjadi 5 kemungkinan:

(1) Tidak mungkin bisa dilihat (impossible), karena memang hilal belum ada (moonset lebih awal daripada sunset atau ijtima? terjadi setelah sunset),

(2) Tidak bisa dilihat (not possible) meskipun dengan bantuan peralatan optik karena kecerahan hilal tidak cukup,

(3) Hanya bisa dilihat dengan bantuan peralatan optik,

(4) Bisa dilihat dengan mata telanjang,

(5) Bisa dilihat dengan mudah dengan mata telanjang.

(6) unknown (tidak diketahui), terjadi pada daerah-daerah di luar 60 derajat Lintang Selatan dan Lintang Utara karena moonset dan sunset tidak ada.[7]

Kriteria Odeh ini disebut-sebut paling mungkin dan relevan untuk dijadikan sebagai acuan, karena menyertakan lebih banyak variabel visibilitas seperti luas permukaan hilal sebagai parameter kecerahan dan efek kondisi atmosfir.

Hari raya berbeda, salah siapa?

Penetapan awal dan akhir bulan hijriyah yang berbeda dibeberapa negara, menurut Odeh lebih dikarenakan para pemangku keputusan yang kurang mempelajari terhadap pergerakan bulan pada masa-masa yang lampau serta kemungkinan-kemungkinan yang sering kali terjadi di masing-masing bulan. Data-data tersebut bisa kita jadikan sebagai sebagai sebuah bahan studi, supaya kedepan tidak istilah salah dalam menentukan hilal.

Dari hasil penelitian yang dilaksanakan Odeh dengan mencermati pola gerakan bulan dari tahun 1953 hingga tahun 1999 didapatkan ada 47 kali bulan Ramadhan, 47 kali bulan Syawal, 48 kali bulan Dzulhijjah. Dari data statistik yang telah terkumpul dapat diklasifikasikan sebagaimana berikut;[8]

1. dari 47 kali bulan Ramadhan telah terjadi;

- imkaniyyatu rukyat mustahilah (bulan baru telah diumumkan muncul sementara hilal tidak dapat dilihat di langit) terjadi 28 kali atau 60%

- imkaniyyatu rukyat ghaira mumkinah (tidak dapat dilaksanakan rukyat meskipun sebenarnya hilal telah muncul) terjadi 17 kali atau 36%

- rukyat mumkinah (hilal bisa dilihat) terjadi 2 kali 4%

2. dari 47 kali bulan Syawal telah terjadi;

- imkaniyyaturukyat mustahilah terjadi 32 kali atau 68%

- imkaniyyatu rukyat ghaira mumkinah terjadi 14 kali atau 30%

- rukyat mumkinah terjadi 1 kali atau 2%

3. dari 48 kali bulan Dzulhijjah telah terjadi;

- imkaniyyaturukyat mustahilah terjadi17 kali atau 35%

- imkaniyyatu rukyat ghaira mumkinah terjadi 21 kali atau 44%

- rukyat mumkinah terjadi 10 kali atau 21%

Dari data statistik yang muncul, diperoleh imkaniyyatu rukyat mustahilah banyak terjadi pada penentuan bulan Ramadhan (60%) dan Syawal (68%). Sedangkan bulan Dzulhijjah relatif lebih kecil kesalahan yang muncul, dikarenakan masih ada jeda 10 hari dalam menetapkan ‘Ied.

Odeh menambahkan bahwa berbedanya perayaan hari raya di kalangan umat Islam saat ini merupakan permasalahan yang sangat kompleks melibatkan seluruh pihak. Pihak-pihak tersebut diantaranya;

1. Lembaga Resmi Falak

lembaga-lembaga yang berkopeten dalam pengambilan keputusan terakhir falak di berbagai negara-negara Islam kebanyakan kurang mengetahui pokok-pokok ilmu falak, bahkan kebanyakan dari mereka tidak mengetahui pengertian istilah tawalludu hilâl yang mereka yakini merupakan awal munculnya hilal, mereka kurang mengetahui bahwa rukyat hilal mustahil terjadi ketika bulan telah tenggelam sebelum matahari tenggelam. Analisa ini kemudian dikuatkan dengan munculnya keterangan resmi dari sebuah negara bahwa rukyat hilal bisa ditetapkan ketika disaksikan oleh beberapa saksi yang adil yang tersebar di berbagai tempat. Padahal pada saat itu hilal tidak tampak di langit. Contoh seperti inilah yang kurang diperhatikan oleh lembaga resmi (mufti dan qadhi qudhat)

Selain dari yang diatas, kita menemukan beberapa perbedaan ijtihad fiqih, sebagian berpandanagn bahwa rukyat hilal di suatu negara bisa dijadikan acuan bagi seluruh negara-negara islam, kelompok lain berpendapat bahwa setiap negara harus memiliki rukyatul hilal.

2. Pakar Falak

begitu juga dengan para Pakar Falak sebagai konsultan dari proses pengambilan keputusan dan penetapan yang kurang memahami secara detail akan perhitungan rukyat hilal. Pernyataan-pernyataan para ahli falak diberbagai media yang saling bertentangan merupakan salah satu sebab permasalahan ini menjadi semakin rumit. Misalnya, hisab hilal bulan ramadhan pada tahun 1422 H. di kota Amman menyatakan bahwa matahari akan tenggelam hari kamis 15 November jam 16:42 dan bulan tenggelam pada hari itu jam 17:02., atau dengan kata lain bulan tenggelam setelah matahari tenggelam dengan selisih waktu 20 menit, masa ini tidak mungkin untuk dilaksanakannya rukyat pada hari itu, sedangkan menurut analisa lembaga falak lain hal ini telah memenuhi kriteria akan masuknya bulan baru.

3. Masyarakat

Yang menjadi permasalahan adalahmasyarakat umum masih banyak yang belum memahami tentang beberapa konsep sederhana ilmu falak. Beberapa contoh paham keliru yang biasa berkembang;

a. banyak kalangan masyarakat yang hanya mengikut kebijakan rukyat dengan menolak mentah-mentah akan adanya hisab falak. Mereka tidak mengetahui bahwa dengan menggunakan hisab falak lebih memungkinkan untuk memprediksi kemungkinan rukyat hilal. Tuduhan tidak tepatnya kalkulasi hisab ini merupakan salah besar, padahal seluruh umat muslim di dunia mempergunakan hisab falak untuk mengetahui waktu sholat.

b. tidak membedakan antara hisab falak yang meniadakan rukyat dengan hisab falak dipergunakan untuk melakukan rukyat.Diantara negara negara yang menjadiakan rukyat hilal sebagai acuan; Malaysia, Iran Pakistan, Oman, jordan, Al Jazair, Maroko, Mauritania. Namun kadang-kadang negara tersebut terpaksa mengikuti permulaan sebagian bulan hijrian negara lain yang menggunakan kriteria berbeda.[9]

Hilal antara Hisab dan Rukyat

Dalam penentuan hilal, seringkali metode hisab dibenturkan dengan metode rukyat. Seolah-olah keduanya merupakan momok yang saling bertentangan. Barang kali akar dari perbedaan tersebut adalah pemahaman terhadap hadits rasul; “Apabila kalian melihat hilal (Ramadhan) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihat hilal (Syawal) maka berlebaranlah. Dan apabila kalian terhalangi (mendung), maka hitunglah.”[10]

Dari intepretasi yang berbeda terhadap hadits tersebut maka muncullah 3 metode dalam menentukan hilal;

1. metode rukyat, yaitu penetapannya dengan observasi langsung/rukyat terhadap hilal. Apabila hilal belum terlihat, maka belum bisa ditetapkan awal bulan. Bulan mengelilingi bumi dalam satu putarannya membutuhkan waktu sekitar 29.53 hari. Dengan kata lain bulan bergerak mengelilingi bumi setiap harinya sekitar 13 derajat atau setengah derajat setiap jamnya. Dalam melaksanakan rukyat, hilal dapat dilihat apabila memenuhi 2 kriteria;

a. konjungsi telah terjadi sebelum tenggelamnya matahari

b. bulan tenggelam setelah tenggelamnya matahari

Danjon pada tahun 1936 memberikan catatan bahwasanya rukyat hilal tidak mungkin terjadi jika elongasi bulan terhadap matahari kurang dari 7 derajat dan apabila crescents arc length ketika terjadi elongasi kurang dari 7 derajat maka hasilnya adalah nol.[11]

2. metode hisab, yaitu berdasarkan hisab astronomi, minimal telah memenuhi kriteria wujudul hilal (konjungsi terjadi sebelum matahari terbenam dan hilal positif telah mencapai pada saat matahari terbenam).

3. kolaborasi hisab dengan rukyat, yaitu menentukan awal bulan hijriyah dengan metode rukyatul hilal dengan mempertimbangkan metode hisab.[12] Rukyat hilal tidak bisa dilaksanakan apabila tidak memenuhi kriteria imkan rukyat. Secara teori, metode ini hampir mirip dengan resolusi yang telah diputuskan konferensi Majma’ Buhust Islamiyyah ke 3 yang diselenggarakan tanggal 27 Oktober 1966 di al Azhar, Kairo, dengan presentator Dr. Muhammad Ali Sayis. Juga sesuai dengan konferensi astronomi Islam internasional ke 2 Amman, Jordan, pada tanggal 29 – 31 Oktober 2001. Adapun kriteria imkan rukyat yang biasa dipergunakan secara umum di negara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura adalah kriteria yang dibuat tidak resmi para Menteri Agama negara bersangkutan (MABIMS) tahun 1992, yaitu:

a. tinggi hilal (irtifâ’ al hilâl/altitude), minimal 2º di atas horizon,

b. jarak sudut matahari dan bulan (qaws al nûr/elongasi), minimal 3º.

c. usia bulan (`umr al qamar/moon age) dihitung sejak saat konjungsi sampai terbenam matahari, minimal 8 jam.[13]

Muhammad Sulaiman, pakar astronomi Mesir, menilai metode hisab dan rukyat yang menjadi acuan umat Islam dalam menentukan awal bulan hijriah memiliki kekurangan serta kelebihan tersendiri. "Dalam kondisi tertentu, misalnya cuaca sedangn buruk, rukyat tidak bisa dilakukan, sedangkan hisab juga tidak luput dari kesalahan perhitungan, "jelasnya. Menurut beliau, hisab dan rukyat dapat saja dilakukan, apabila penglihatan yang baik (shohihul bashar) dan pengetahuan yang tinggi (shohihul aqli). Selain itu, juga para ahli astronomi dalam menetapkan awal perlu memperhatikan waktu, tempat serta situasi dan kondisi sebelum melakukan hisab dan rukyat. Lebih lanjut Sulaiman mengatakan, hal yang terpenting agar tidak terjadi kesalahan yang berakibat fatal, para ahli juga perlu merujuk pada ayat-ayat Al-Quran ataupun Hadist dalam menentukan awal dan akhir bulan hijriah. "Jika kita tidak melihat bulan, maka kita harus menyempurnakan puasa Ramadhan genap selama 30 hari, "ungkapnya mengutip salah satu Hadist.[14]

Penyatuan Kalender Hijriyah Internasional

Berlebarang bersama tentunya merupakan keinginan dari seluruh muslimin di dunia. Namun, bagaimana bisa bersama apabila tiap tahun muncul keputusan yang berbeda-beda. Beberapa tahun ini para ilmuwan Islam tengah sibuk mencari solusi tersebut.

Muhammad Ilyas mengatakan, untuk menjembatani perbedaan pandangan penganut metode Hisab dan Rukyat dalam menetukan awal bulan hijriah, teknologi canggih diperlukan untuk mencapai univikasi kalender Islam internasional. Sementara itu, beliau menambahkan tentang 3 cara yang harus dilakukan oleh umat Islam;

a. Umat Islam harus memakai kriteria yang sama dalam melakukan perhitungan awal dan akhir bulan

b. Menggunakan metode rukyat, dengan bekerja sama dengan organisasi muslim internasional di bidang astronomi.

c. Mempergunakan peralatan modern dalam melihat hilal.

Mohammad Odeh dalam usaha penyatuan kalender hijriah ini menerapkan metode sebagai mana berikut;

1. penanggalan belahan bumi zona timur; antara garis lintang 180 derajat bujur timur hingga 20 derajat bujur barat, mencakup benua Australia, Asia, Eropa, Afrika, seluruh negara Islam, jika hisab mengatakan bahwasanya mungkin untuk dilakukannya rukyat di wilayah manapun (wilayah yang cerah),maka hari selanjutnya merupakan bulan baru.

2. belahan bumi zona barat; antara 20 derajat bujur barat membentang hingga ke bagian barat wilayah benua amerika. Dan jika hisab menyatakan bahwa memungkinkan untuk dilakukannya rukyat dari wilayah manapun (wilayah yang cerah), maka hari selanjutnya merupakan bulan baru.[15]

Yang membedakan Kalender Hijriyah Internasional ini adalah adanya persamaan antara metode Hisab dan Rukyat, sehingga menyatukan penanggalan Islam dan tidak ada perbedaan dalam penentuan awal bulan Hijriyah

Koreksi Pemikiran Odeh

Hari Rabu, 2 Januari 2008 yang lalu, stasiun televisi al Jazeera dalam program Bila Hudud menayangkan sebuah wawancara membincang permasalahan falak bersama Mohammad Odeh. Dalam kesempatan tersebut, Odeh banyak memaparkan tentang konsep-konsep dalam penentuan hilal dan bagaimana bisa terjadi perbedaan penetapan awal bulan hijriyah secara detail dan terperinci.

Dalam sebuah website resmi milik Dr. Rami Muhammad Sami Diyabi, juru bicara dari Global Association of Perpetual Hijri Calendar, beliau menulis sebuah artikel tentang tanggapan terhadap pemikiran serta propaganda Odeh tentang ilmu falak yang dilancarkan pada acara di channel televisi tersebut.

Dr. Rami menyebutkan, pada permulaan acara tersebut, Odeh menunjukkan beberapa referensi umum yang penting untuk dijadikan acuan dalam penanggalan hijriyah bagi setiap ahli falak. Salah satu diantaranya sistem yang telah dibuat Badan Observasi Britania. Penyebab dari petaka umat adalah mengikuti apa-apa yang telah dibuat orang-orang Yahudi. Ini semua hanyalah permainan perhitungan Britania sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Mereka mencoba menipu umat Islam tentang penentuan hari Khutbah Wada'. Dengan segala macam tipudaya yang berkedok wacana ilmiah mereka mengatakan Haji Wada’ jatuh pada hari Sabtu atau Kamis. Padahal para sejarawan islam menetapkan haji Wada pada hari Jum'at.

Negara-negara barat saat ini tengah gencar-gencarnya melancarkan wacana kepada umat Islam supaya meninggalkan rukyat yang sampai saat ini menjadi acuan dalam penetapan bulan hijriyah dan beralih kepada ilmu hisab falak. Permasalahan ini terangkum dalam satu poin penting yang mana kita tidak sepekat dengan kelolmpok ahli falak pimpinan Mohammad Odeh yang telah dikenal diseluruh penjuru dunia. Mereka melakukan usaha-usaha yang gencar menghapus referensi hilal syar'i secara umum. Hal ini jusrtu akan menimbulkan pertentangan dalam falak yang menyebabkan berubahnya dari sesuatu yang pasti (tsawabit) kepada hilal falak yang sesat.

Poin selanjutnya bahwa pemikiran Mohammad Syaukat Audah merupakan sebuah monopoly keilmuan terhadap falak. Beliau membangun pemikirannya tanpa memperhatikan referensi khazanah islam yaitu Qur'an dan Sunnah. Perlu diingat bahwa langit diciptakan untuk menyatukan umat Islam dan bukan untuk dijadikan ajang saling mempertentangkan. Moto dari organisasi kita “rabbun wahid dinun wahid umat wahidah hilal wahid i'ed wahid”. Muhammad Odeh dalam wawancara tersebut tidak menyinggung soal Hilal Siyasi yang merupakan penyebab musibah muslimin.

Beliau menyayangkan ilmuwan-ilmuwan falak sekarang (termasuk didalamnya Odeh) masih berpegang dengan Sykes Picot Agreement dalam penentuan kemunculan hilal. Ini merupakan upaya Sykes Picot dalam usaha mempengaruhi ilmu falak. Permasalahan kita sekarang adalah perbedaan rukyat dalam dunia islam, dan ketika rukyat dapat disatukan menurut kacamata Qur'an dan Sunnah maka Umatpun akan bersatu. Masalahnya orang-orang yang menempati jabatan-jabatan penting dalam penarikan keputusan rukyat tidak memahami akan pentingnya persatuan umat.[16]

Kesimpulan

Dalam wacana hisab dan rukyat sebagai metode untuk menentukan hilal, beliau lebih cenderung untuk mengkolaborasikan antara metode hisab falak dengan rukyat, yang mana hisab merupakan alat ukur dilakukannya rukyat. Kata Odeh; ”Hisab Falak merupakan sesuatu yang qath'i dan kesaksian para saksi terhadap rukyat adalah sesuatu yang dhanni. Bagaimana mungkin sesuatu yang dhanni lebih didahulukan dari yang qath'i?”[17]
Mohammad Odeh merupakan aset Islam yang sungguh berharga. Diumurnya yang masih muda telah mampu memberikan kontribusi yang sungguh berarti untuk perkembangan peradaban Islam. Tentunya beliau bisa dijadikan tokoh inspirator bagi para kaum muda untuk senantiasa mengembangangkan skill dan science. Saatnya kaum muda memimpin dunia. Memberikan sumbangsih yang nyata bagi agama dan negara. Wallahu ‘alam



[1] Q.S. Al-Baqarah, ayat 189

[2] Riwayat Bukhori Muslim

[3] Syeikh Yusuf Qaradhawi menfatwakan bahwa keputusan yang diambil Arab Saudi dan negara-negara lain yang yang melaksanakan I’ed pada tanggal 7 Januari a 2000 adalah keliru. Syeikh Salman, “Which Hilal to Follow ? Reasons for Islamic Dates Confusion And Their Solution”, 2001, www.icoproject.com

[4] Kata Syeikh Salman; “Dulu pernah terjadi ketika menjelang hari raya ‘Idul Fitri 1420 H., saya bersama beberapa rekan dan tim rukyat Mekah menuju bukit Shamesi pada Kamis sore untuk melihat akan adanya hilal. Kami tidak melihat akan munculnya hilal bulan Syawal waktu itu. Ketika esok hari setibanya kita di Makkah, ‘Idul Fitri telah di umumkan hari ini”. www.novavizio.com

[5] Abu Hisyam,”Kacaunya Sistem Penanggalan Arab Saudi”, www.sidogiri.com

[6] Bila Hudud, “Tahdîd Syuhûr al Arabiyah” (penetapan bulan-bulan Arab), Rabu, 2 Januari 2008, Al Jazeera

[7] Mohammad Odeh, “Taqwêm al Hijri al ‘Âlami”, International Crescents Islamic Project 2006

[8] Mohammad Odeh, “Taqwêm Nasabil Khata’ Fi Tahdîdi Awâili Ashur Hijriyyah fi Ordon”, Islamic crescents observatory project, 2004

[9] Mohammad Odeh, “Al Hilâl Baina Hisâbât Falakiyyah Wa Rukyat”, Islamic crescents observatory project, 2006

[10] Riwayat Bukhori Muslim

[11] Op. Cit., “Al Hilâl Baina Hisâbât Falakiyyah Wa Rukyat”.

[12] Kolaborasi yang dimaksudkan bukanlah menggunakan masing-masing metode secara parsial namun masih dalam hitungan satu tahun, misalkan menggunakan metode hisab untuk menentukan bulan-bulan biasa seperti bulan Muharram, Safar, Rajab, dll sementara menggunakan metode rukyat untuk menentukan bulan Ramadhan, Syawal, Dzulhijjah. Hal ini akan menyebabkan bulan hanya berumur 28 hari atau bahkan mencapai 31 hari. Sedangkan bulan Hijriyah maksimal berumur 30 hari. Ibid.

[13] Op. Cit., Abu Hisyam.

[14] www.eramuslim.com, Kamis 6 september 2007

[15] Opcit, “Taqwêm Hijri al ‘Âlami”

[16] Dr. Rami M. Diyabi, “Musykilatu Falakiyyin Wa Muhammad ‘Audah fi al Mandhur al Hadhari al Falaki at Taba’i Lil Gharbi”, Jum'at, 4 Januari 2008, ramidiabi.maktoobblog.com

[17] Op. Cit., “Al Hilâl Baina Hisâbât Falakiyyah Wa Rukyat”,