Tuesday, April 14, 2009

Jelajah Turats Ilmu Hadîts[1]

oleh; M. Fuad Al Amin

Hai orang-orang yang beriman, jika telah datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

(QS. Al-Hujurât:6)

A. Prolog

Hadîts merupakan salah satu komponen penting dalam sistem Islam. Dalam mashâdir tasyri’ Islam (dasar penetapan hukum) sendiri, ia menempati urutan kedua setelah wahyu al-Qur’an. Dr. Mushthofa al-Sibâi dalam bukunya al-Sunnah Wa Makânatuhu fi Tasyrî’ al-Islâmy menyampaikan bahwa hadîts memiliki peran yang urgen dalam rangka proses tasyri’. Posisi hadîts dalam hal ini lebih sebagai penjelas dari al-Qur’an yang lebih bersifat kaidah-kaidah umum. Pun juga sebagai peletak hukum-hukum yang belum disebutkan dalam al-marâji’ al-awwal.

Begitu pentingnya khazanah ilmu yang Nabi Muhammad SAW. wariskan kepada umat Islam, sehingga para Shahabat dan generasi-generasi setelahnya memiliki ihtimâm (perhatian) yang luar biasa terhadap ilmu ini. Rasulullah sendiri telah menginformasikan dalam sebuah hadîtsnya “’alaikum bi sunnati wa sunnati al-khulafâ al-râsyidîn al-mahdiyyîn, ‘addhu ‘alaiha binnawâjid”.

Seperti yang telah sejarah catatkan, bahwa hadîts sampai kepada kita saat ini melalui proses transmisi yang cukup panjang. Dan proses ini didukung dengan semangat para shahabat dan generasi-generasi setelahnya dalam menyampaikan dan menyebarluaskan ajaran rasulullah, sehingga terjadilah proses transmisi yang solid.

Dari proses transmisi ini, maka munculah beberapa rentetan periwayatan yang menyampaikan hadîts dari satu masa ke masa selanjutnya. Periwayatan ini terus berjalan dari zaman nabi hingga zaman pembukuan hadîts. Maka dari proses transmisi inilah kemudian muncul objek kajian ilmu hadits.

Otentik dan tidaknya sebuah hadîts lebih banyak dikarenakan proses transmisi itu sendiri. Yang nantinya dalam sejarah berkembangnya ilmu ini proses transmisi tersebut diberikan istilah “sanad”. Dalam sebuah qaul dikatakan “al-sanad huwa al-dien, lau hadama al-sanad lahadama al-dien” bahwa sanad merupakan tiang agama ini, jika sanad hancur maka hancurlah agama ini.

Ilmu hadist dalam perkembangannya terkelompokkan kepada dua bagian penting yaitu; ilmu hadîts riwâyat dan ilmu hadîts dirâyat. Masing-masing disiplin ilmu tersebut memiliki objek kajian yang berbeda-beda.

B. Terminologi Ilmu Hadîts

a. Secara Etimologi

Peristilahan Ilmu Hadîts diambil dari dua suku kata, yaitu ilmu dan hadîts. Secara bahasa, kata ilmu berarti sebuah idrâk (pencapaian/ pengetahuan terhadap sesuatu). Kata ilmu berbeda dalam praktek penggunaannya dengan kata ma’rifat. Kata ilmu lebih condong kepada idrâk yang kulli (sesuatu yang dapat difahami secara global) sedangkan kata ma’rifat cenderung kepada idrâk yang juz’i (sesuatu hal yang detail).[2]

Sedangkan kata hadîts sendiri merupakan lawan kata dari qadîm yaitu sesuatu yang baru, atau dalam artian lain adalah sebuah khabar (kabar).[3]

b. Istilah Hadîts

Hadîts menurut para jumhur ulama yaitu segala hal yang dinisbatkan (disandarkan) kepada Nabi Muhammad SAW. baik berupa qaul (perkataan), atau fi’l (perbuatan), atau taqrîr (ketetapan), atau sifat khilqiyyah (tabiat pembawaan) atau sifat khuluqiyyah (akhlak) atau segala hal yang dinisbatkan kepada Shahâbat dan Tâbi’in dari perbuatan dan perkataan mereka.[4]

c. Istilah Ilmu Hadîts

Dr. Mahmud al-Thahan mendefinisikan istilah Ilmu Hadîts sebagai sebuah disiplin ilmu dengan kaidah-kaidahnya yang membahas tentang keadaan sanad dan matn dari segi qabûl (diterimanya) dan radd (ditolaknya).

C. Peristilahan Dalam Ilmu Hadîts

Dalam disiplin Ilmu Hadîts terdapat beberapa peristilahan yang kerap dipergunakan, diantaranya;

a. Sunnah; sinonim dari kata hadîts, menurut jumhûr muhadditsîn.

b. Khabar; sinonim dari kata hadits, menurut jumhûr muhadditsîn. Para ulama Khurasan mengatakan bahwa Khabar adalah segala hal yang diriwayatkan dari Rasulullah, sedangkan yang diriwayatkan dari selain beliau merupakan Atsar.

c. Atsar; sinonim dari kata Khabar

d. Isnâd; rentetan periwayatan yang disampaikan dari satu orang ke yang lain.

e. Matn; teks hadîts.

f. Râwî/ Musnid; orang yang meriwayatkan hadîts.

g. Hâfidh; orang yang hafal seratus ribu hadîts, matan dan sanadnya.

h. Hujjah; orang yang hafal tiga ratus ribu hadîts, matan dan sanadnya.

i. Hâkim; orang yang hafal tiga ratus ribu hadîts, matan dan sanadnya, serta mengetahui keadaan masing-masing periwayat.

j. Amîr Mukminin; orang yang menguasai segala hal tentang hadîts, ilmu hadîts, dan dijadikan rujukan ketika terjadi perbedaan dalam periwayatan hadîts.

k. Ilmu Hadîts Riwayat; salah satu cabang dari disiplin ilmu hadîts yang fokus terhadap pembahasan rentetan periwayatan hadîts. Ilmu ini yang pertama kali muncul dalam ilmu hadîts.

l. Ilmu Hadîts Dirâyat; salah satu cabang dari disiplin ilmu hadîts yang fokus terhadap pembahasan kondisi rawi (periwayat) dan marwa (objek periwayatan) ditinjau dari diterima atau ditolaknya sebuah hadîts.

D. Pembahasan Ilmu Hadits

Secara global pembahasan dalam ilmu hadîts tertuju kepada dua hal, yaitu sanad dan matn dari segi diterima/ditolaknya. Ilmu hadîts dalam perkembangannya terkelompokkan kepada dua bagian penting yaitu; ilmu hadîts riwâyat dan ilmu hadîts dirâyat. Yang mana masing-masing ilmu ini memiliki corak pembahasannya masing-masing.

Adapun kedua cabang ilmu di atas juga menghasilkan beberapa corak materi pembahasannya masing-masing dalam ilmu hadîts. Diantaranya;

a. Ilmu Ruwât al-Hadîts

b. Ilmu Riwâyat al-Hadîts

c. Ilmu Hadîts Min Haitsu Qabûl Wa Radd

d. Ilmu Matn

e. Ilmu Sanad

f. Ulum Musytarakah Baina Sanad Wa Matn

E. Fase Kemunculan (Zaman Nabi – Akhir Abad I H.)

1. Masa Pembentukan (Munculnya Ilmu Hadîts Riwâyat)

Titik tolak munculnya ilmu hadîts riwayat ditandai dengan diriwayatkannya hadîts Rasulullah SAW. tentang permulaan wahyu. Dari sini ilmu hadîts riwâyat mulai dikenal, dan kemudian proses transmisi semakin berkembang.

Jalur transmisi awal ini seluruhnya dibawa oleh para shahabat nabi. Diantara mereka yang banyak meriwayatkan hadîts yaitu;

1.) Abdurrahman bin Shakh bin Tsa’labah bin Sulaim bin Fahm bin Ghanam bin Daus al-Yamâni, Abu Hurairah, wafat tahun 59 H., meriwayatkan 5374 hadits.

2.) Abdullah bin Umar bin Khattâb, wafat tahun 74 H, meriwayatkan 2630 hadîts.

3.) Anas bin Mâlik, wafat tahun 93 H., meriwayatkan 2268 hadîts.

4.) Aisyah bintu Abi Bakar, wafat tahun 57 H., meriwayatkan 2210 hadîts.

5.) Abdullah bin Abbas, wafat tahun 68 H., meriwayatkan 1660 hadîts.

6.) Jabir bin Abdillah, wafat tahun 78 H., meriwayatkan 1540 hadîts.

7.) Abu Sa’id al-Khudriyyi, wafat tahun 74 H., meriwayatkan 1170 hadîts.

Selain itu ada beberapa shahabat nabi yang mendokumentasikan transmisi hadîts mereka melalui tulisan. Atau yang biasa kita kenal dengan shahîfah. Diantara shahîfah yang ada;

1.) Shahîfah ash-Shadiqah, ditulis oleh Abdullah bin Amr ra.

2.) Shahîfah Jabir bin Abdullah ra.

3.) Shahîfah Ali bin Abi Thalib ra.

4.) Shahîfah Hammam bin Munabbih, ditulis oleh Hammam dari riwayat Abu Hurairah ra.

5.) Shahîfah Samurah bin Jundub ra.

6.) Shahîfah Sa'd bin Ubadah ra.

2. Qânûn Riwâyat (Sistem Periwayatan) Zaman Shahabat

Masyarakat Arab pada zaman kenabian banyak mengandalkan hafalan mereka dalam mendokumentasikan setiap kejadian dan perkara. Tidak terlepas para shahabat Nabi dikenal, mereka dikenal dengan hafalan mereka yang kuat. Sehingga petuah-petuah yang Rasulullah sampaikan dapat tersampaikan ke zaman setelah mereka.

Para shahabat Nabi telah mendapatkan kesaksian dari Allah dan Rasul-Nya akan ke-adâlah-an dalam meriwayatkan hadîts. Namun hal ini tidak menyebabkan mereka secara sembrono menerima setiap riwayat yang disampaikan. Mereka membuat sebuah manhaj (aturan) tersendiri untuk menjaga orisinilitas hadîts. Diantaranya[5];

1.) Taqlîl al-Riwâyat (menyedikitkan periwayatan)

Hal ini dilakukan karena ihtiyât (hati-hati) mereka dalam menjaga hadîts. Diantara shahabat yang paling syadid (keras) menerapkan sistem ini adalah Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab.

2.) Al-Tatsabbut Fi al-Riwâyat (pembuktian dalam periwayatan)

Khalifah Abu Bakar merupakan orang yang pertama kali mempraktekkan sistem ini. Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, suatu ketika seorang nenek datang kepada Abu Bakar meminta hak warisnya, kemudian Abu Bakar berkata; “Aku belum pernah menemukan permasalahan ini (hak waris nenek) di dalam al-Qur’an dan aku tidak pernah mengetahui Rasulullah pernah menyebutkan akan hal ini”, kemudian beliau bertanya kepada orang-orang, dan Mughirah berkata; “Aku hadir ketika Rasulullah memberikan seperenam bagian warisan untuk nenek.” Kemudian Abu Bakar berkata; “Apakah dari kalian ada yang tahu lagi?” Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian yang sama, barulah Abu Bakar memberikan kepada nenek tersebut hak warisnya.

3.) Naqdu al-Riwâyat (mengkritisi periwayatan)

Metode ini diterapkan dengan menolak hadîts-hadîts yang bertentangan dengan kaidah umum agama. Aisyah bintu Abi Bakar pernah mendapati hadîts yang diriwayatkan Umar bin Khatab dan putranya Abdullah bin Umar yang berbunyi; “Innal Mayyita La Yu’addzabu Bi Bukâi Ahlihi Alaihi” artinya; “Sesungguhnya seorang mayit akan disiksa dikarenakan tangisan ahli keluarga terhadapnya”, kemudian Aisyah berkomentar; “Semoga Allah memberikan rahmat kepada Umar, Demi Allah, Rasulullah tidak pernah mengatakan bahwa Allah menyiksa orang mukmin dikarenakan tangis seseorang”, lalu beliau berkata; “Sesungguhnya Allah menamba siksa terhadap orang-orang kafir dikarenakan tangisan ahli keluarga terhadapnya.” Lalu berkata; “Cukuplah kalian dengan al-Qur’an!” Wa lâ taziru wâziratun wizra ukhra.

3. Fenomena Pemalsuan Hadîts dan Peran Ilmu Hadîts Riwâyat

Fenomena ini muncul ditengarai dengan terjadinya perpecahan dalam barisan Islam pada akhir Khilafah Ali bin Abi Thalib, tepatnya setelah terjadinya perang Shiffin. Umat Islam terpecah menjadi beberapa haluan pemikiran. Diantara yang banyak mencetuskan hadîts-hadîts palsu adalah kelompok Syiah.

Dengan kondisi yang demikian, para Shahabat dan Tabi’in semakin memperketat penjagaan terhadap hadîts. Dari sinilah semakin muncul peran Ilmu Hadîts Riwâyat dalam upaya memisahkan hadîts maudhu’ dari hadîts-hadîts yang maqbul. Upaya yang dilakukan diantaranya[6];

1.) Al-Bahs Fi Isnâd al-Hadîts Wa Fahs Ahwal al-Ruwât (penelitian terhadap sanad hadîts dan pemeriksaan terhadap diri perowi)

Muhammad bin Sirin berkata; “Mereka para ulama sebelumnya tidak menanyakan isnâd, namu setelah terjadinya fitnah (perang Shiffin) mereka berkata; Sammu Rijâlakum!” Bisa disimpulkan bahwa benih ilmu Jarh Wa Ta’dîl telah muncul pada masa ini.

2.) Ihtiyat Fi Hamli al-Hadîts ‘An Ruwat (berhati-hati menerima hadîts dari para rowi)

3.) Rihlah Fi Tholab al- Hadîts Li Ajli Simâ’ihi Li Râwi al-Ashli. (berpetualang mencari perowi asli suatu hadîts)

4. Klasifikasi Hadîts

Setiap periwayatan tentunya memiliki derajat yang berbeda-beda. Pada Abad ini belum begitu banyak peristilahan yang muncul seperti yang kita temukan sekarang. Hadîts pada masa ini terbagi menjadi 7 jenis;

1.) Hadîts Marfû’

2.) Hadîts Mauqûf

3.) Hadîts Maqthû’

4.) Hadîts Muttasil

5.) Hadîts Mursal

6.) Hadîts Munqathi’

7.) Hadîts Mudallas

Dari ketujuh jenis hadîts tersebut masih diklasifikasikan lagi menjadi dua macam;

1.) Hadîts Maqbûl.

Penyebutan hadîts ini pada periode berikutnya lebih dikenal dengan hadîts Shohih dan Hasan.

2.) Hadîts Mardûd.

Penyebutan hadîts ini pada periode setelahnya lebih dikenal dengan hadîts dho’if dan beberapa jenis dari hadîts dho’if.

F. Fase Perkembangan (Abad II H. & III H.)

Kondisi umum yang terjadi pada zaman ini;[7]

1. Semakin melemahnya kemampuan menghafal orang-orang.

2. Semakin panjangnya sanad

3. Munculnya sekte-sekte dalam pemikiran Islam

Dengan kondisi yang semacam ini, para ulama membuat beberapa metode agar hadîts tetap terjaga kemurniannya. Diantaranya dengan;

1. Melakukan kodifikasi hadîts.

2. Semakin menggiatkan untuk memperdalam Ilmu Jarh Wa Ta’dîl.

3. Meninggalkan hadîts yang tidak jelas periwayatnya.

4. Menteliti setiap hadîts yang muncul.

Masa ini dimulai dengan semakin berkembangnya ilmu hadîts riwâyat dan terbentuknya pondasi awal ilmu hadîts dirâyat, hal ini terbukti dengan merebaknya kodifikasi kitab-kitab hadîts. Imam Abu Bakar Muhammad bin Syihab al-Zuhrie (wafat 125 H.) dan Abu Bakar bin Abdirrahman merupakan ulama yang pertama menulis kitab dalam disiplin ilmu hadîts riwâyat. Kemudian disusul setelah itu ulama-ulama yang banyak bergelut dalam ilmu hadîts dirâyat semisal; Yahya bin Mu’ien (157 – 237 H.) dengan karangannya Târikh al-Ruwât, Khalifah bin Khiyath al-Syaibâni (wafat 240 H.) dengan karangan al-Târikh dan Thobaqât, Imam Ahmad bin Hanbal (167 – 241 H.) dengan karangannya al-Kuna, Ali al-Madînî (161 – 234 H.) dengan karangannya al-Asâma Wa al-Kuna dan Ma’rifatu Man Nazala Min al-Shohâbat ‘Alâ Sâiri al-Buldan, Imam Yahya bin Sa’id al-Qahthan (wafat 198 H.) dengan karangannya al-I’lal, Imam Syâfi’î (wafat 204 H.) dengan karangannya al-Risâlah, Muhammad bin Abdillah al-Marwazî (220 – 293 H.) dengan karangannya Kitâb Ma’rifat, Imam Bukhâri (wafat 256 H.) dengan karangannya al-Târikh al-Kabîr, al-Târikh al-Awsat, al-Târikh al-Shogîr, dan al-Dhu’afâ, Imam Juzjânî (wafat 259 H.) dengan karangannya al-Jarh wa al-Ta’dîl, dan Dhu’afâ, Abu Ja’far bin Jarîr al-Thabarî dengan karangannya Tahdzîbu al-Atsar, Abu Daud al-Sajistânî (wafat 275 H.) dengan karangannya al-Marâsil, Imam Muslim dengan karangannya Bayân al-Awhâm Muhadditsin, Ibnu Qutaybah al-Daynûrî (wafat 276 H.) dengan karangannya ta’wîl mukhtalaf al-Hadîts Fi al-Raddi ‘Ala A’dâ’I al-Hadîts

Adapun corak tasnîf (penulisan) kitab pada masa ini masih bercampur antara ilmu hadîts dengan beberapa ilmu lain semisal; ilmu fiqh, ilmu ushul fiqh, hadîts. Hal ini dikarenakan kebanyakan ulama hanya membahas ilmu hadîts ini sesuai dengan kebutuhan mereka saat itu.

Sedangkan dalam klasifikasi hadîts, para ulama zaman ini secara global membaginya menjadi 4 macam, yaitu;

1. Hadîts Shohîh;

2. Hadîts Hasan;

3. Hadîts Dho’if;

4. Hadîts Hasan Shohîh. (istilah Imam Turmudzi)

Pada penghujung abad ini merupakan akhir dari masa periwayatan hadîts. Yang mana sebagian besar periwayatan hadîts telah dibukukan dalam mushannafât. Sebaliknya ilmu hadîts dirâyat sedang menuju titik kulminasinya.

G. Fase Penyempurnaan

1. Abad IV – VI H.

Mushannafât ulama Hadîts dalam bidang ilmu hadîts semakin berkembang menuju kepada sebuah kesempurnaan kodifikasi ilmu. Hal ini dibuktikan dengan munculnya kitab-kitab khusus ilmu hadîts. Dan bisa dikatakan masa ini merupakan nuqthoh inthilâq ilmu Hadîts.

Qâdhî Abu Muhammad bin Abdirrahman bin Khalâd al-Ramahurmudzi (wafat 360 H.) dengan kitabnya al-Muhaddits al-Fâshil Baina al-Râwî Wa al-Wâ’î adalah orang yang pertama kali membukukan tulisan khusus tentang pembahasan ilmu hadîts dirâyat. Beliau dalam menggarap kitab tersebut dengan mengumpulkan setiap bab materi ilmu hadîts pada zaman sebelumnya dan mengumpulkannya menjadi satu, namun bab-bab yang dikumpulkan belum menyeluruh terhadap setiap pembahasan dalam ilmu hadîts.

Segera setelah itu disusul dengan munculnya beberapa ta’lîf ulama seperti; al-Hâkim Abu Abdillah al-Naysâbûrî (wafat 405 H) dengan kitabnya ma’rifatu ulumi al-Hadîts, Ahmad bin Abdillah al-Ashfahânî (wafat 430 H.) dengan kitabnya Mustakhraj, al-Khâthîb al-Bagdâdî (wafat 463) dengan al-Kifâyat fi Qawânîn al-Riwâyat, al-Jâmi’ li Adabi Syaikh Wa Sâmi’.

2. Abad VII

Karya monumental al-Hafidz Abu Amr Utsman bin Abdirrahman al-Syahranuri (wafat 642 H.) atau yang lebih dikenal dengan ibnu Sholah dengan kitabnya Muqaddimah Ibnu Sholah Fi Ulûm al-Hadîts menjadi puncak dari kodifikasi ilmu hadîts. Buku inilah yang kemudian menjadi master of piece dalam ilmu hadîts.

Dalam metode penulisan kitab tersebut beliau mengumpulkan seluruh materi pembahasan dalam ilmu hadîts. Ada 65 bab pembahasan yang beliau sebutkan dalam kitab Muqaddimah, yang kesemuanya telah merangkul seluruh materi ilmu hadîts.

Ada beberapa keistimewaan dari metode yang beliau pergunakan, diantaranya;

1. Istinbât Daqîq Li Manâhij Ulamâ (ketelitian dalam melakukan istinbât terhadap beberapa metode yang ulama terapkan)

2. Annahu Dhabitha al-Ta’rîf (memberikan penjelasan/ definisi terhadap peristilahan yang disebutkan)

3. Annahu ‘Aqqaba ‘Ala Aqwâli al-Ulamâ (memberikan komentar, sanggahan, tambahan terhadap perkataan para ulama)

H. Epilog